Inilah keyakinan beracun yang sangat berbahaya, terutama jika diterapkan dalam pernikahan. Banyak sekali orang yang menganggap konflik sebagai sebuah bentuk kegagalan atau ketidakharmonisan sehingga akhirnya mereka mencoba sekuat tenaga untuk menghindari konflik atau berusaha memadamkannya dengan kompromi-kompromi yang tidak cerdas.
Tidak terhitung pula jumlah pasangan yang memilih bercerai lantaran mereka terjebak dalam situasi konflik beruntun. Dengan segera mereka melihat ini sebagai tanda “ketidakcocokan” dan tanda “perhentian” yang membuat mereka memutuskan untuk mengakhiri pernikahan. Padahal, dalam sebuah hubungan APAPUN, untuk mencapai level keharmonisan dan kualitas kedekatan yang sejati, kita HARUS selalu melewati fase-fase konflik.
Konflik adalah NETRAL. Konflik hanyalah simtom (gejala) bahwa ada 2 kubu yang berbeda yang harus dicarikan titik tengahnya. Istri saya selalu berkata bahwa konflik adalah KONSEKUENSI OTOMATIS dan WAJAR dari pertemuan dua hal yang berbeda. Artinya, jika ada 2 manusia yang berhubungan, menurut Anda wajar atau tidak jika mereka kemudian konflik? Tentu sangat wajar, manusiawi, dan normal sekali karena setiap manusia di muka bumi ini memiliki perbedaan.
Banyak pasangan gagal dalam membangun pernikahan karena mereka memandang konflik sebagai masalah. Setiap mereka bertengkar mereka merasa ada masalah dalam hubungan mereka. Sebaliknya, ada pasangan-pasangan yang cukup bijaksana dan memandang konflik sebagai salah satu alat untuk mereka lebih saling memahami dan mengelola perbedaan mere-
ka. Anda tidak pernah bisa menyelesaikan konflik dengan cara menghindarinya. Menghindar dari konflik justru ibarat “menabung” untuk nantinya dituai dalam bentuk konflik yang lebih besar. Disinilah letak jebakan bagi kita, kita berpikir asalkan kita tidak melihat konflik, maka berarti tidak ada masalah. Sehingga dengan sekuat tenaga kita memendam perasaan dan pemikiran kita. Inilah salah satu tindakan menghindari konflik.
Tentu saja saya juga tidak menyuruh Anda kemudian setiap hari konflik terus-menerus. Karena kalau perbedaan bisa diselesaikan tanpa konflik, kenapa kita harus repot-repot ribut-ribut bukan? Saya hanya ingin Anda mulai memandang konflik secara berbeda. Konflik bukanlah masalah. Setiap hubungan HARUS melewati fase konflik untuk menuju pada hubungan yang dewasa. Jangan sampai ketika fase itu datang Anda memilih mundur karena melihat bahwa hubungan tersebut bermasalah.
Yang terpenting sebenarnya bukanlah konfliknya, melainkan bagaimana respon kita terhadap konflik itu sendiri. Ingat, konflik adalah konsekuensi logis karena ada 2 hal yang berbeda. Maka, solusinya adalah mencari titik temu agar 2 hal yang berbeda itu bisa berjalan bersama. TIDAK HARUS salah satu dibuang dan mengikuti yang lainnya. Anda harus paham bahwa konflik BUKAN PERTANDINGAN. Konflik tidak mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah. Karena jika orientasi Anda adalah menang-kalah atau benar-salah, maka di ujungnya akan ada pihak yang terluka dan kecewa.
Yang harus Anda lakukan adalah mencari WIN-WIN solution agar keduanya bisa berjalan tanpa keberatan. Disinilah yang tidak mudah karena kadangkala yang sebenarnya harus dikalahkan bukanlah orang lain, melainkan ego diri kita sendiri. Disinilah butuh kedewasaan yang tidak dimiliki oleh sembarang orang. Disinilah perlu komunikasi yang dewasa dan saling menghormati. Itu sebabnya pula, hanya orang dewasa yang mampu berhadapan dengan konflik. Andakah orangnya?
(Sumber: www.shifthinknow.com, "21 EMOTIONAL TOXIC BELIEF oleh Josua Iwan Wahyudi")
No comments:
Post a Comment